Selasa, 26 Desember 2017

Sukses Tidak Pernah Dicapai Seorang Diri

Suskes tak pernah dicapai seorang diri.

Kamis,  saya mengikuti kelas kurikulum dari Keluarga Kita. Saya sudah lama sekali ingin up grade ilmu tapi selalu saja berhalanagan dengan alasan yang sama yaitu “gak ada yang gantiin ngeumong anak”. Anak saya sekarang berusia 13 bulan, yang artinya, setahun lebih saya tidak menambah ilmu selain dari buku atau situs online. Buat saya, ada yang sangat mendasar yang saya butuhkan agar bisa tetap waras menjadi ibu, yaitu bersosialisasi. Berkenalan dengan orang baru, berteman, berkumpul dengan yang satu visi misi, itu semua efeknya bukan hanya untuk si ibu, tapi juga untuk anak dan keluarganya. Saya pikir, 13 bulan sudah lebih dari cukup untuk sedikit-sedikit mengajari anak diasuh oleh orang lain.

Langsung saja saya mendaftar, baru setelahnya saya bilang ke suami. Saya kenal dia, saya tahu dia pasti mendukung rencana saya. Sayangnya, kami tidak tinggal serumah, Ia kerja di Sulawesi sementara saya tinggal di Jakarta. Pada kondisi ini, tentu saja tidak memungkinkan kami berganti peran walau hanya satu hari. Sedih, masa gak jadi lagi ?!
Tidak buntu, kamipun mencari kontak day care yang menerima harian. Setelah ketemu, lokasinya jauh dari rumah saya, pun dari tempat acara. Biayanya pun tidak murah. Sedih lagi. Yap, salah satu kekurangan saya memang mood swing *terpujilah wahai engkau suamiku yang riang selalu ✌️.

Kalo ada yang nanya, “kenapa gak dititip ke neneknya? Kakeknya? Mereka kan seneng momong cucu..”

Orang tua saya, mertua saya, itu opsi terakhir kalo udah bener-bener mentok. Kebetulan saya ini tipe orang yang gak enakan, apalagi ke orang tua, duh engga deh, kasian.

Jangankan minta tolong orang tua, minta tolong ke teman aja saya gak enak.
Tapi, di situlah saya dibuat terharu.

Mengetahui kondisi ini, teman saya menawarkan diri untuk mengurus anak saya selama saya pergi, yaitu dari pagi sampai sore. Dia gak tega katanya kalo nitip anak ke day care, tempat dan orang yang  asing buat anak, bahkan buat orang tuanya juga. Apa nyaman seperti itu ? Tentu enggak ya.. kecuali memang sudah sering atau setiap hari di situ.

Sampai harinya tiba, saya pun tak henti mengucap syukur atas kebaikan orang-orang disekeliling saya. Saya berangkat jam 7 pagi ketika anak saya belum bangun. Saya sudah siapkan semua keperluannya dalam sehari pada satu tas untuk memudahkan teman saya. Setelah saya berangkat, saya terus berkomunikasi dengan mama di rumah. Beliau memandikan anak saya sebelum dijemput oleh dua teman saya ke appartemennya. Ada pula adik angkat saya, ia membantu menyiapkan stroller dan sebagainya untuk dibawa teman saya.

Nah, enaknya nitip anak ke teman sendiri adalah, saya nyaman sekali berkomunikasi, memantau anak saya dan dengan kepercayaan penuh, saya jadi tidak khawatir selama saya belajar. Sungguh, itu semua sangat berarti untuk saya. Untuk pertama kalinya setelah setahun, saya mendapat kesempatan “keluar” dari zona peribuan. Meski, acara yang didatangi tetap saja berkaitan dengan mengasuh anak. Saya menikmati sekali tiap ilmu yang disampaikan oleh ibu Najela shihab, tiap interaksi dengan teman baru, tiap suapan tanpa rengekan.

Lalu, apa saja yang didapat ?

Saya merenung, mengasah kisah yang saya alami sendiri.

❤️ pertama, ada hal mendasar yang saya rasa harus dipahami semua orang. Bahwa hidup kita sebagai manusia, akan selalu butuh “unplug” moment. Ketika hp eror, kita matikan, lalu hidupkan lagi. Saya gak ngerti teknologi, tapi seringkali itu berhasil, bener gak ? Itu yang saya rasakan hari itu. 365 hari lebih, 24 jam sehari, saya mengurus anak. Kalo pas anak rewel, sakit, atau sedang jenuh, saya suka nangis. Didengar hanya oleh suami saya yang jauh. Rasanya wajar kalau stress. Ngurus anak gak kaya ngurus bisnis, gagal bisa ulang lagi. Kalo saya stress, bentak anak, efeknya sangat panjang..
Oleh karena itu, saya harus tetap waras. Anak gak tahu apa ibunya punya masalah, apa ibunya lapar, apa ibunya lagi sakit, yang dia tahu hanya dia butuh makan, minum, butuh ditemani main, butuh merasa dicintai, butuh lihat senyuman orang di sekitarnya, butuh dicebokin, butuh dimandiin.
Maka keluar sejenak dari rutinitas tersebut, menjadi unplug moment untuk saya. Saya kembali ke anak saya dengan hati bahagia, dan siap rapihin mainannya 3xsehari lagi 😊.
Siapapun orangnya, apapun pekerjaannya, ketika mulai merasa not working well, unplug yourself. Nikmati menyenangkan diri sendiri, maka kita akan bisa menyenangkan orang lain.

❤️ suskes tidak pernah dicapai seorang diri. Siapapun orangnya. Akan ada orang lain yang selalu mendengarkan keluh kesahnya sehingga ia bisa menceritakan keceriaannya kepada dunia. Akan ada orang lain yang mencari kayu, memotong kayu, menyusun kayu, menjadikannya sebuah tangga untuk seseorang memanjat hingga mampu memetik buah yang manis di puncak pohon.
Kesuksesan, selalu terdiri dari sekumpulan dukungan..
Ketika kita mendambakan kesuksesan, jangan pernah lupa memberikan potongan kayu yang kita miliki untuk membuat tangga teman kita, pasangan kita, anak kita, siapapun.

Saya selalalu membayangkan, jika saya mampu menerapkan ilmu parenting yang didapat pada hari itu, lalu anak saya terbantu dengan cara tersebut, maka ada andil dari kedua teman saya di dalamnya. Itulah mungkin yang bisa disebut amal. Dan begitulah agama saya mengajarkan pentingnya tolong menolong, kenal-tidak kenal, seiman-tak seiman, hal kecil yang kita lakukan untuk orang lain, mungkin baginya adalah sepotong kayu yang berharga.

Rabu, 11 Oktober 2017

Bijak Kala Berobat

Beberapa hari yang lalu, secara tiba-tiba telinga kananku terasa sakit. Berdengung seperti abis berenang. Kalau sujud terasa sakit ke kepala. Karena rasa sakitnya mengganggu sekali, dan ini berkaitan dengan indra, aku putuskan untuk ke dokter. Tentu saja ke THT karena aku pikir peralatan di dokter THT akan lebih lengkap dan sesuai. Maka pergilah aku ke salah satu rumah sakit swasta di daerah kelapa gading, jakarta utara. Setelah diperiksa, Dokter mengatakan bahwa telinga kanan dan kiriku merah, infeksi telinga tengah istilahnya – setelah itu aku langsung dipersilahkan untuk keluar.

Dalam keadaan masih clueless aku tetap harus melanjutkan tahapan berobat ini, memasuki bagian yang gak kalah menegangkannya dari tahapan pemeriksaan yaitu menuju kasir 😝. Aku mendapat dua tagihan, lembar pertama adalah untuk biaya dokter dan jasa rumah sakit, sementara lembar kedua adalah untuk obat. Masing-masing lembar menunjukkan angka empat ratus sekian ribu dan delapan ratus sekian ribu. Iyah, obat telinga yang ngiung-ngiung ini hampir satu juta. Aku kaget, tapi pura-pura santai. Kaget, tapi tetap bayar, pasrah ✌🏻.

Kemudian aku menaruh harapan pada apoteker. Berharap mendapatkan alasan untuk iklas membayar. Aku tanya,”mba ini obatnya yang mahal apanya ya ?”. Aku pikir, sakitku ini sangat spesifik sehingga membutuhkan obat khusus. Baiklah, aku keliru. Ternyata yang mahal adalah antibiotiknya yang mencapai enam ratus ribu lebih. Sementara dua obat lainnya yaitu obat tetes telinga dan kapsul berisi obat racik cukup dua ratus ribu rupiah saja. Lalu aku bertanya lagi, “kenapa antibiotik ini mahal mba?”. Lagi-lagi jawabannya sangat tidak memuaskan, “karena bagus,bu”.

Saat itu, di otakku penuh pertanyaan seputar antibiotik. Apakah tidak ada antibiotik yang lebih murah ? Apakah penyakitku begitu parah sampai membutuhkan antibiotik yang spesial ? Apakah antibiotik ini aman untuk ibu menyusui ? Apakah aku tidak berhak menolak obat yang sudah dokter resepkan ? Sayangnya, saat itu aku diburu waktu karena harus jemput ibuku. Maka aku coba berkonsultasi via whatsapp kepada seorang dokter yang aku kenal sangat bijak.

Hasilnya ? Menurut beliau, aku gak perlu konsumsi antibiotik tersebut karena dosisnya terlalu tinggi (aku gak ada indikasi demam dsb). Wah aneh sekali, obat yang katanya “bagus” ini nyatanya tidak sepenting itu.

Terlepas dari seberapa hebatnya sebuah obat, seberapa seniornya seorang dokter, seberapa tingginya reputasi sebuah rumah sakit, aku yakin ada yang harus aku perbaiki dari caraku berobat. Ini penting agar berobat mencapai tujuannya yaitu kita tahu persis apa yang terjadi dengan tubuh kita, dan treatment apa yang sesuai untuk menyembuhkannya. Selain itu juga tentunya agar kita tidak “terjebak” dengan nominal yang harus dibayarkan.

Theory…

Menurut, dr.Saleh Zubeidi, hal berikut ini penting untuk dipahami saat kita berobat ke dokter.

1. Ke dokter sesuai dengan keluhan.
Kalau indikasinya sudah jelas, seperti aku yang sakit telinga, ya bisa langsung ke dokter spesialis. Tapi kalo komplikasi seperti ada demam, perut melilit, batuk, ada baiknya berkonsultasi ke dokter umum dulu. Menurut aku, jangan kita remehkan dokter umum. Dokter umum melihat kasus dari general ke spesifik. Aku beberapa kali berobat ke dokter umum justru puas dengan penjelasan mereka. Mungkin karena dokter umum melihat berbagai kemungkinan, jadi kita juga diajak untuk memahami lebih dalam mengenai apa yang kita rasa, apa yang kita keluhkan.

2. Sampaikan keluhan sedetil mungkin.
Mulai dari jenis hingga waktunya, jelaskan semua yang kita rasa. Ini hak pasien yang tentunya akan membantu dokter untuk mendiagnosa. Tambahan dari aku, penting juga untuk menyampaikan kondisi lain yang terkait. Misalnya sedang menyusui atau tidak, sedang hamil berapa bulan, sedang menggunakan alat kontrasepsi atau tidak.

3. Sampaikan riwayat penyakit.
Terutama jika kita ke dokter yang untuk pertama kalinya. Dokter harus tahu riwayat penyakit kita sebelumnya, atau jika kita punya alergi makanan atau alergi obat tertentu.

4. Tanyakan apa yang dokter temukan dalam pemeriksaannya.
Nah ini kurangnya aku juga ya, kurang gragas nanyain ke dokternya hehe. Gapapa kali ya bawel, kan ini kelebihannya berobat langsung. Kalo Cuma manut-manut aja mah googling juga bisa .

5. Tanyakan tentang terapi yang diberikan.
Sebagai pasien apalagi kita yang awam, tidak tahu menahu tentang jenis dan efek obat, wajib hukumnya menanyakan hal ini. Kita harus tahu untuk apa obat tersebut,sehingga pasien bisa memberi pertimbangan juga baik dari sisi harga maupun dari sisi manfaat.

Point di atas insyaAllah dapat membantu kita untuk berobat efektif dan sesuai kebutuhan maupun kemampuan kita. Sepele, tapi bisa menghindarkan kita supaya tidak menjadi budak obat. Selanjutnya aku mau coba merangkum cara bijak mengkonsumsi obat dari salah satu buku best seller tulisan dokter jepang, Yutaka Okamoto. insyaaAllah.

Jumat, 22 September 2017

Penculikan dan Kebohongan Anak

Story

Sejak Kamis, 14 September 2017, media sosial ramai dengan beredarnya video pengakuan seorang anak SD yang mengaku hampir diculik. Gadis cilik kelas IV SD yang berinisial PT ini bercerita kejadian mengerikan yang baru saja dialaminya itu dengan raut wajah yang tenang bahkan beberapa kali tersenyum. Memang mengagumkan ya ketika pertama kali mendengarnya, anak perempuan kecil bisa melepas bekapan tangan pria dewasa dengan sekali gigit. Jadi wajar saja para ibu yang merasa antara kagum sekaligus cemas dengan berita tersebut langsung membagikan, menyebar luaskan video PT ini.

Dua hari berselang, Wakasat Reskrim jakbar, Kompol Ivers Manossoh menyatakan bahwa kejadian tersebut tidaklah benar, alias palsu. Hmm tetap mengagumkan yah, tapi tentunya kagum yang dicampur miris.. Kok bisa ya anak kelas IV SD berbohong ? Saya jadi penasaran dan berselancar di samudra google untuk mencari tahu penyebab anak berbohong, cara mencegah dan menghadapi kebohongan anak.

Theory

Coba ya kita sendiri sebagai orang dewasa, pernah bohong ga ? Kira-kira kenapa kita bohong ? Mungkin kurang lebih sama, hal itu pula yang melatarbelakangi anak berbohong.
1. Anak tahu konsekuensinya
2. Anak tidak ingin mengecewakan
3. Mereka tidak berbohong, mereka hanya berfantasi
4. Mereka tidak ingat yang sebenarnya
5. Mereka pikir, bohong lebih sopan karena kebenarannya terlalu kasar
6. Mereka mencontoh orang tua

Jadi menurutku, berdasarkan pengalaman, dan tentunya dari hasil mengoreksi diri sendiri (yup, diingat-ingat pernah juga aku melakukan ini), ada kebiasaan yang keliru dari kita orang tua. Misalnya;
- mengekspresikan emosi dengan meledak-ledak ketika kesal dengan perbuatan anak. Aku yakin, bayi sekalipun bisa merasakan ekspresi wajah dan intonasi bicara yang nyaman itu seperti apa. Dan aku juga yakin bahwa TIDAK ADA ANAK YANG TERLAHIR SENANG MEMBUAT ORANG TUANYA KECEWA. Tidak ada. Maka ketika kita dikit-dikit marah, ya udah kebayang ya selanjutnya gimana..
- mengeluh (entah secara langsung di depan anak ataupun bercerita kepada orang lain) tentang betapa beratnya, betapa capeknya, dan betapa stress nya mengurus anak. Betul seorang ibu juga manusia, dan mengeluh bisa saja wajar. Tapi setelah saya pikir lagi, kebiasaan ini sangat tidak baik. Anak-anak tidak pernah minta untuk dilahirkan ke dunia dan "membuat" kita kerepotan. Bisa terbayang bagaimana rasanya datang di tempat baru lalu disalahkan. Lalu apa jadinya kalau anak merasa tak berharga ? Tentu akan mencari perhatian dengan cara apapun, bahkan cara yang mungkin dia sendiri tidak suka, kan intinya hanya ingin perhatian kita, hanya ingin kasih sayang kita, hanya ingin me,buat kita bangga akan dirinya..
- mudah membuat janji tapi tidak ditepati. "Iya besok ya kita beli", "ok nanti kalo makannya habis, mama beliin mainan baru", "ayo jangan nakalnya, nanti mama ajak ke dufan kalo adek anteng"
Ketika gak ditepati, mereka akan menganggap hal tersebut biasa.. Jangan heran kalau kedepannya jadi susah "didengar" anak.
- memuji hasil, bukan proses. Klise, namun F.A.T.A.L.





Jumat, 14 Juli 2017

Etika Menjenguk/bertemu bayi (gemes yang membahayakan)

Today's Story :
hari ini, hari Jumat tanggal 14 Juli 2017 adalah hari pertama kalinya Thea (anak pertama, 8 bulan) cek laboratorium.

Semua berawal dari satu minggu lalu Althea tiba-tiba demam hingga nyaris 39C. Nangis kejer tengah malem. Alhamdulillah saat itu mamak lagi bobo bareng Nini. Nini memarut bawang merah lalu dicampur asam jawa, dibalurkan keselruh tubuh Thea. Entah kebetulan atau tidak, selang beberapa menit kemudian, Thea bisa tidur dengan pulas dan demamnya turun. Nah  setelah malam itu, panas tubuhnya naik turun terus. Makan tidak nafsu. Main kurang semangat.

Akhirnya saya bawa ke dokter dan diminta untuk cek darah. rasanya jauh lebih takut dan deg-degan ketimbang diri sendiri yang mau diambil darah. Apalagi saat itu saya sendirian. Thea diambil darah di jari tengah tangan kirinya saat lagi tidur (plus ngempeng nenen). Gak kebangun sama sekali, cuma sempet kaget narik jarinya aja. Fiuuuuh lega banget!

Hasilnya, ternyata HB nya rendah dan terdeteksi adanya VIRUS..

Dokter ga bilang virus apa, dan saya ga nanya juga. Astagfirullaaah... begitulah mamak kalo pergi sendirian dan kamu nangis kejer di ruang periksa, nak, mamak ga fokus:(

Virus ini, kemungkinan menyebar ke Thea dari kontak atau udara.

Theory behind the story :
Bayi itu rentan. Sangat rentan. Lalu tugas nya siapa ya untuk menjaga kesehatan mereka ? ya kita, orang dewasa..

Saya jadi berpikir sesuatu, bahwa selama ini seringkali ketemu orang (kenal maupun tidak) yang gemes sama Thea lalu dengan sepenuh hati cium-ciumin Thea. hmm..

Sebagai seorang ibu, saya mengharapkan orang lain bisa paham bahwa :
1. Sedang sakit ataupun tidak, tubuh dan baju kita (sangat) bisa saja menempel kuman, polusi, dan virus.
2. Penularan virus tidak hanya melalui kontak secara langsung, ingat, apa-apa yang terhirup pun akan berdampak. Sudah puas dengan tidak merokok di dekat bayi ? bagaimana dengan asap yang menempel di baju anda ? Yes, itupun membahayakan..
3. Seramah apapun seseorang, setenang apapun dia, hati kecilnya akan selalu ada kekhawatiran untuk keselamatan anaknya..

Lalu, bagaimana sebaiknya sikap kita ketika berjumpa dengan bayi ?
1. Tanya diri sendiri sebelum gendong bayi, apakah saya sehat? apakah saya mengenakan pakaian yang cukup bersih dan aman untuk bisa gendong bayi ?
2. Gemes sama pipi tembemnya ? Orang tua akan berterimakasih kalau anaknya dihargai dengan tidak asal dicium-cium lho..Jadi, tahan aja ya ga perlu cium-cium apalagi deket area bibir dan hidugnya.
3. Persiapkan diri dengan bersih. Gunakan masker terutama bagi yang sedang flu. Cuci tangan sebemum menyentuh bayi dan atau ketika akan BERSALAMAN DENGAN IBU NYA. Lebay yah ? enggak kok, karena tangan ibunya lah yang akan sering bersentuhan dengan sang bayi.
4. Jaga bicara. Wah ini gak ada hubungannya sama penularan virus yah, tapi gak kalah penting. Hati orang tua, mungkin khususnya ibu, itu sangat sensitive jika seputar anak. Akan sangat bijak jika kita bisa menghindari mengomentari fisik sang bayi.. Daripada ngobrolin "kok item sih anaknya? ibu bapaknya kan putiih", mendingan pijitin ibunya !

Ini etika jenguk/bertemu bayi versi saya, ada yang mau nambahin ?

Kamis, 13 Juli 2017

Akar Menulis

Bismillahirrahmanirrahim..


Saya bukan seseorang yang memiliki pengetahuan ataupun pengalaman mumpuni dalam bidang tulis menulis. Bukan pula penggila dunia maya. Tapi beberapa hal menjadi alasan saya untuk memulai blog ini, memulai menulis.


1. Saya seringkali terbantu oleh tulisan-tulisan di dunia maya. baik itu artikel resmi, blog, ataupun review mengenai hal yang lagi saya pertimbangkan. Dengan menulis, saya harap dapat melakukan hal yang sama.


2. Tulisan-tulisan ini akan menjadi arsip untuk membantu saya mengingat setiap hal penting yang terjadi dalam hidup saya. Jadi, semacam sarana saya mengumpulkan memori agar tidak tercecer.


3. Amal. Ya, saya pamrih. Saya berharap bisa bermanfaat bagi orang lain. Hingga ketika nantinya fisik saya sudah tidak dapat melakukan amal baik lagi, cahaya-cahaya amal dari tulisan ini dapat menemani kehidupan akhirat saya :) aamiin.


4. Menjaga kemampuan otak saya.


5. Hadiah untuk anak-anakku. Setiap tulisan di blog ini, adalah surat cinta mamak untuk kalian, anak-anakku (sekarang sih baru satu hehe)

Lima point inilah yang menjadi akar, cikal bakal, permulaan saya menulis. Semoga istiqomah dan bisa bermanfaat untuk orang banyak. Aamiin...