Rabu, 11 Oktober 2017

Bijak Kala Berobat

Beberapa hari yang lalu, secara tiba-tiba telinga kananku terasa sakit. Berdengung seperti abis berenang. Kalau sujud terasa sakit ke kepala. Karena rasa sakitnya mengganggu sekali, dan ini berkaitan dengan indra, aku putuskan untuk ke dokter. Tentu saja ke THT karena aku pikir peralatan di dokter THT akan lebih lengkap dan sesuai. Maka pergilah aku ke salah satu rumah sakit swasta di daerah kelapa gading, jakarta utara. Setelah diperiksa, Dokter mengatakan bahwa telinga kanan dan kiriku merah, infeksi telinga tengah istilahnya – setelah itu aku langsung dipersilahkan untuk keluar.

Dalam keadaan masih clueless aku tetap harus melanjutkan tahapan berobat ini, memasuki bagian yang gak kalah menegangkannya dari tahapan pemeriksaan yaitu menuju kasir 😝. Aku mendapat dua tagihan, lembar pertama adalah untuk biaya dokter dan jasa rumah sakit, sementara lembar kedua adalah untuk obat. Masing-masing lembar menunjukkan angka empat ratus sekian ribu dan delapan ratus sekian ribu. Iyah, obat telinga yang ngiung-ngiung ini hampir satu juta. Aku kaget, tapi pura-pura santai. Kaget, tapi tetap bayar, pasrah ✌🏻.

Kemudian aku menaruh harapan pada apoteker. Berharap mendapatkan alasan untuk iklas membayar. Aku tanya,”mba ini obatnya yang mahal apanya ya ?”. Aku pikir, sakitku ini sangat spesifik sehingga membutuhkan obat khusus. Baiklah, aku keliru. Ternyata yang mahal adalah antibiotiknya yang mencapai enam ratus ribu lebih. Sementara dua obat lainnya yaitu obat tetes telinga dan kapsul berisi obat racik cukup dua ratus ribu rupiah saja. Lalu aku bertanya lagi, “kenapa antibiotik ini mahal mba?”. Lagi-lagi jawabannya sangat tidak memuaskan, “karena bagus,bu”.

Saat itu, di otakku penuh pertanyaan seputar antibiotik. Apakah tidak ada antibiotik yang lebih murah ? Apakah penyakitku begitu parah sampai membutuhkan antibiotik yang spesial ? Apakah antibiotik ini aman untuk ibu menyusui ? Apakah aku tidak berhak menolak obat yang sudah dokter resepkan ? Sayangnya, saat itu aku diburu waktu karena harus jemput ibuku. Maka aku coba berkonsultasi via whatsapp kepada seorang dokter yang aku kenal sangat bijak.

Hasilnya ? Menurut beliau, aku gak perlu konsumsi antibiotik tersebut karena dosisnya terlalu tinggi (aku gak ada indikasi demam dsb). Wah aneh sekali, obat yang katanya “bagus” ini nyatanya tidak sepenting itu.

Terlepas dari seberapa hebatnya sebuah obat, seberapa seniornya seorang dokter, seberapa tingginya reputasi sebuah rumah sakit, aku yakin ada yang harus aku perbaiki dari caraku berobat. Ini penting agar berobat mencapai tujuannya yaitu kita tahu persis apa yang terjadi dengan tubuh kita, dan treatment apa yang sesuai untuk menyembuhkannya. Selain itu juga tentunya agar kita tidak “terjebak” dengan nominal yang harus dibayarkan.

Theory…

Menurut, dr.Saleh Zubeidi, hal berikut ini penting untuk dipahami saat kita berobat ke dokter.

1. Ke dokter sesuai dengan keluhan.
Kalau indikasinya sudah jelas, seperti aku yang sakit telinga, ya bisa langsung ke dokter spesialis. Tapi kalo komplikasi seperti ada demam, perut melilit, batuk, ada baiknya berkonsultasi ke dokter umum dulu. Menurut aku, jangan kita remehkan dokter umum. Dokter umum melihat kasus dari general ke spesifik. Aku beberapa kali berobat ke dokter umum justru puas dengan penjelasan mereka. Mungkin karena dokter umum melihat berbagai kemungkinan, jadi kita juga diajak untuk memahami lebih dalam mengenai apa yang kita rasa, apa yang kita keluhkan.

2. Sampaikan keluhan sedetil mungkin.
Mulai dari jenis hingga waktunya, jelaskan semua yang kita rasa. Ini hak pasien yang tentunya akan membantu dokter untuk mendiagnosa. Tambahan dari aku, penting juga untuk menyampaikan kondisi lain yang terkait. Misalnya sedang menyusui atau tidak, sedang hamil berapa bulan, sedang menggunakan alat kontrasepsi atau tidak.

3. Sampaikan riwayat penyakit.
Terutama jika kita ke dokter yang untuk pertama kalinya. Dokter harus tahu riwayat penyakit kita sebelumnya, atau jika kita punya alergi makanan atau alergi obat tertentu.

4. Tanyakan apa yang dokter temukan dalam pemeriksaannya.
Nah ini kurangnya aku juga ya, kurang gragas nanyain ke dokternya hehe. Gapapa kali ya bawel, kan ini kelebihannya berobat langsung. Kalo Cuma manut-manut aja mah googling juga bisa .

5. Tanyakan tentang terapi yang diberikan.
Sebagai pasien apalagi kita yang awam, tidak tahu menahu tentang jenis dan efek obat, wajib hukumnya menanyakan hal ini. Kita harus tahu untuk apa obat tersebut,sehingga pasien bisa memberi pertimbangan juga baik dari sisi harga maupun dari sisi manfaat.

Point di atas insyaAllah dapat membantu kita untuk berobat efektif dan sesuai kebutuhan maupun kemampuan kita. Sepele, tapi bisa menghindarkan kita supaya tidak menjadi budak obat. Selanjutnya aku mau coba merangkum cara bijak mengkonsumsi obat dari salah satu buku best seller tulisan dokter jepang, Yutaka Okamoto. insyaaAllah.