Rabu, 25 Juli 2018

Shalat Tepat Waktu bagi Sang Ibu

Sebelumnya, aku tidak pernah membayangkan bahwa salah satu tantangan ketika menjadi seorang ibu adalah menjaga shalatnya. Jam tidur yang berantakan, terjaga sepanjang malam. Perut selalu lapar, namun untuk makan saja sulit karena bayi tak mau dilepas. Seperti ingin mengatakan, jangankan untuk shalat, untuk tidur, makan, dan buang air saja sulit..

Aku tidak ingin membanding-bandingkan kondisiku dengan yang lain. Orang lain mungkin suaminya bisa kerja dirumah dan membantu mengurus bayi bergantian. Atau mungkin ada nenek dan kakek sang bayi yang bisa menggendong sebentar ketika ingin shalat. Bahkan mungkin ada juga yang menggunakan jasa baby sitter. Apapun kondisinya, aku yakin menjadi ibu memiliki tan

Minggu, 15 Juli 2018

Mata Yang Mengawasi Anak Ketika Sedang Shalat

Ramadhan tahun lalu, aku hampir tidak merasakan suasana tarawih di masjid. Saat itu anakku masih bayi, baru bisa merangkak. Alhamdulillah Allah kasih kesempatan tahun ini menikmati indahnya Ramadhan lagi. Aku targetkan tidak bolong tarawih selama sebulan penuh kecuali kalau datang bulan ya tentunya. Hari pertama, masyaAllah aku hampir saja menitikan air mata haru karena selama di masjid yaitu sejak shalat isya berjamaah, mendengarkan ceramah, sampai shalat witir, anak 19 bulanku itu super anteng! Rasanya seperti Allah memudahkan niat ibadahku, gimana gak brebes mili kan, padahal di masjid itu banyak anak lain yang lari-larian dan menangis.

Jadi, setiap mau tarawih, aku menyiapkan makanan buat Thea. Makanan yang seminimal mungkin potensi ngotorin tangan dan masjid. Misalnya, bola-bpla nasi yang aku buat seukuran sekali suap. Persiapan lainnya, aku bawakan buku kesukaannya. Ini sangat membantu dia bisa duduk anteng. Pokoknya takjub sekali sama moment ini. Suka ngerasa kangen kan sama masa-masa single? Nah moment tarawih dengan tenang itu salah satunya. Tahun ini, bisa terobati. MasyaAllah syukurnya bukan main..

Dan sampailah pada tarawih malam ke 10. Makanan dan buku sudah dibawa. Althea duduk manis sampai ceramah selesai. Dia matanya tertuju pada kakak-kakak laki-laki di shaf depan kami. Kebetulan saat itu kami duduk di shaf pertama perempuan. Sepertinya Athea sedang observasi situasi dan kondisi nih . Yes, bener aja.. ketika shalat tarawih dimulai, untuk pertama kalinya Althea berjalan ke arah shaf laki-laki sampai mataku yg lagi berusaha untuk tetap menatap titik sujud itu tidak lagi bisa melihatnya. Selama suaranya masih terdengar, aku lebih tenang. Tapi ketika bayang-bayangnya dan suaranya gak ada, solat mulai gelisah. Astgahfirullah. Gemeeees banget pengen gerakin mata mencari keberadaan anak kecil yang satu itu. Bacaan shalat mulai sekenanya. Fokus sudah buyar. Ya Allah, diterima gak ya shalat model gini ??

Aku berusaha tetap menahan mata agar gak ikut lari-lari. Sempat teringat pernah denger ceramah katanya yang matanya lirak lirik kala shalat itu kaya pencuri. Entah apa tepatnya, intinya gak baik. Ketika sujud, Aku berucap dalam hati, “Ya Allah, kutitip anakku padamu”

Aku bangun dari sujud rakaat pertamaku, dan tiba-tiba samar terlihat seorang anak laki-laki berbaju merah menuntun Althea berjalan menuju sajadahku, menginstruksikan Althea agar duduk sambil berkata “nih adek di sini aja ya sama mamanya”

Ya Allah ya Rahman, kontan sekali menjawab doaku, meuni langsung ! Leher mendadak lunglai, menunduk malu, seperti Allah menegurku. Hilangkanlah kekhawatiran duniawi dalam shalatmu, Niela.

#asah

Aku mencari tahu hadis yang berkaitan dengan lirak lirik ketika shalat. Sepertinya pemahamanku yang sekelibat muncul itu tidak bisa aku pegang. Dari hasil baca-baca, sekarang aku tahu bahwa melirik-lirik ketika shalat itu hukumnya makruh, namun tidak membatalkan shalat. Lalu bagaimana dengan memejamkan mata ? Sampai menulis ini, aku belum menemukan hadis yang menyatakan haram hukumnya memjamkan mata ketika shalat, hanya saja itu tidak ada dalam sunah shalatnya Rasulullah. Artinya, rasul shalat tidak memejamkan matanya.

Pada artikel lain, aku menyimpulkan bahwasanya memejamkan mata maupun menoleh/melirik, dapat dilihat kebutuhannya. Dikatakan boleh, ketika keduanya dibutuhkan. Misalnya saja jika tempat sujud kita, terdapat ornamen yang mengganggu kekhusyuan shalat, maka memejamkan mata untuk menjaga fokus kita itu dianggap boleh. Begitupun dengan melirik, jika ada hal yang sekiranya mengancam keselamatan, maka hukum melirik ketika shalat pada saat itu dibolehkan.

Melihat dari sisi lain, dikatakan prihal menjaga mata terbuka ketika shalat akan menyehatkan mata. Otot-otot mata seperti dilatih senam kala kita ruku dan bangun sambil memfokuskannya pada satu titik.

Wallahualam bishawab.

Kamis, 12 Juli 2018

SEKOLAH BAYI, BUTUH ATAU HANYA TREND ?

SEKOLAH BAYI, BUTUH ATAU HANYA TREN ?

Hadirnya media sosial tentu saja memberi pengaruh kepada kehidupan kita. Siapa saja dapat dengan mudah membagikan cerita keseharian maupun berbagi pendapat. Semudah itu pula kita dapat mengetahui kegiatan orang lain, termasuk public figure. Hal ini lah yang mampu menciptakan sesuatu menjadi sebuah tren. Kita melihat banyaknya public figure yang “menyekolahkan” anaknya sejak bayi. Saya mendatangi 3 “sekolah” bayi untuk mencari tahu, apa sih yang mereka tawarkan ?

Tempat pertama, membuat saya langsung jatuh cinta karena tempatnya nyaman. Dibangun khusus untuk tempat bermain dan belajarnya anak usia 6 bulan sampai usia Taman Kanak-kanak. Tempatnya luas, parkiran luas, outdoor playground luas, bahkan sudah dilengkapi pula dengan kolam renang. Program yang ditawarkan untuk batita fokus pada olah fisik, yaitu baby gym, little dance, dan swim. Ketiganya memiliki ruang/lokasi yang khusus dan memang didesain aman , nyaman, dan bersih untuk anak-anak. Olah fisik memang sangat dianjurkan untuk merangsang dan melatih perkembangan gross motor skill dan tentunya menunjang kesehatan anak. Sementara untuk dancing, bukan sekedar fisik yang dilatih tapi juga memberikan efek positif pada kecerdasannya. Ketika belajar menari, anak dilatih untuk mengingat gerakan, berkonsentrasi, dan menyelaraskan gerak tubuh dengan irama. Frekuensi pertemuan dis ini lebih sering dibanding dua tempat lain yang saya survei, yaitu 2-3 kali dalam satu minggu. Untuk durasi, ketiganya tidak memiliki perbedaan yang signifikan, mungkin sudah disesuaikna dengan kebutuhan dan kondisi anak usia tersebut ya.

Tempat kedua adalah sebuah sekolah dan day care yang sudah memiliki banyak sekali cabang di jakarta. Sekolah ini memang sudah lama berdiri dan membuka sistem franchise. Terasa sekali kematangan dari sekolah ini karena websitenya aktif, bahkan saya mendaftar untuk trial class pun melalui website yang kemudian saya dikontak melalui telfon. Saya mencoba mendatangi open house dari salah satu cabangnya yang berlokasi di sebuah rumah yang dijadikan “sekolah”. First impression, saya kurang suka dengan kondisi kelas untuk bayinya dan outdoor playground yang terlihat kurang terawat. Sekolah ini menonjolkan kualitas bahan ajarnya. Mencakup semua yang dibutuhkan untuk menstimulasi kemampuan anak seperti vocabulary, logika, matematika, motorik halus, dan lainnya. Bahkan ada jadwal khusus untuk praktek membuat makanan sederhana yang menurut mereka berfungsi untuk melatih motorik juga. Frekuensi pertemuannya satu minggu sekali dan ada jadwal untuk field trip.

Tempat ketiga adalah favorit saya. Favorit karena saya sebagai orang tua akan mendapat keuntungan lebih banyak dibanding dari dua sekolah sebelumnya. Sekolah ini mengerti betul pentingnya peran orang tua. Berbeda dengan dua sekolah sebelumnya, yang terakhir ini menawarkan program bukan hanya untuk anak namun juga untuk orang tuanya. Tidak ada free trial class, adanya baby introduction package yakni orang tua membayar untuk percobaan selama 4 kali pertemuan. Memang tidak gratis, bahkan menurut saya juga tidak murah, tapi ini penting dan efektif. Karena menurut saya, kalau hanya mencoba satu kali pertemuan, tidak banyak yang dapat kita simpulkan. Anak usia sekitar satu tahun bergantung pada banyak hal, ketika ia mengantuk, lapar, tentu saja mood untuk mencoba hal baru tidak optimal. Hal yang dilakukan di kelas pun sangat beragam, dan mungkin saja ada yang anak sukai dan tidak, nah bisa saja aktifitas pada pertemuan perdana bukanlah yang ia sukai. Maka menyimpulkan anak tidak suka atau belum siap sekolah hanya pada satu kali pertemuan menurut saya kurang efektif.

Setelah saya mendaftar paket perkenalan tersebut, saya mendapat jadwal untuk Parent’s Orientation. Pada Parent’s Orientation, saya dijelaskan tentang profile sekolah, sekilas tentang neuroscience ,mengenai apa saja yang akan diajarkan di kelas, apa yang menjadi dasar bahan ajar mereka, dan apa saja yang akan saya dapat jika bergabung pada kelas reguler. Wah terasa sekali kematangannya! Saya suka! Penjelasan yang saya terima membuka pikiran saya, “sekolah bayi” bukan sekedar gaya. Semua yang dilakukan di sini berpegang pada hasil research. Istilah golden age hadir karena pada masa ini, anak menyerap banyak sekali hal. Setiap stimulasi yang diberikan akan mengaktifkan syaraf otaknya. Semakin banyak stimulasi, akan semakin kaya pula cabang-cabang syaraf aktifnya. Materi dan mainan yang diberikan sudah disesuaikan untuk stimulasi dan untuk membangun dasar yang kuat pada kemampuan seperti bahasa, matematika, dan fokus anak. Dengan bekal penjelasan pada sesi ini, orang tua jadi paham ketika di kelas nanti harus bersikap bagaimana dan ketika di rumah pun bisa diterapkan. Mungkin banyak yang kita pikir sederhana, tapi akan menunjukkan hasil yang berbeda jika dilakukan “tidak sengaja” dengan melakukannya “mindfullnes”. Dengan mengetahui tujuan yang kita lakukan, kita akan melakukannya dengan penuh kesadarann.

Lalu setelah Parent’s orientation, pembayaran kelas reguler sudah termasuk 1 x 50menit  sekali seminggu pertemuan, Program Tea for Mom yaitu edukasi untuk orang tua, dan aplikasi khusus untuk orang tua yang berisi milestone dan stimulasi yang dapat dilakukan orang tua di luar jam pertemuan.

Lokasinya bertempat di sebuah ruko. Tidak ada outdoor area. Saya melihatnya sebagai sebuah kekurangan, namun memang olah fisik tidak menjadi fokus mereka, sekolah yang satu ini lebih tepat dikatakan sebagai brain gym untuk anak.

Saya menyimpulkan, sekolah bayi memang bukan sekedar tren, tapi juga bukan kewajiban. Artinya, jika orang tua belum mampu secara finansial ataupun waktu dan tempat (tinggal di daerah yang jauh dari lokasi sekolah), maka bisa melakukan stimulasi yang sama efektifnya di rumah sendiri. Perbanyak membaca, mencari tahu tujuan mengajak anak “ikut campur” di dapur, memilih mainan yang merangsang otaknya, merangsang motoriknya. Lakukan setiap aktifitas bersama anak dengan penuh kesadaran dan cinta, insyaAllah niat kita untuk membesarkan anak yang bermanfaat dapat terwujud. Aamiin.

Selasa, 26 Desember 2017

Sukses Tidak Pernah Dicapai Seorang Diri

Suskes tak pernah dicapai seorang diri.

Kamis,  saya mengikuti kelas kurikulum dari Keluarga Kita. Saya sudah lama sekali ingin up grade ilmu tapi selalu saja berhalanagan dengan alasan yang sama yaitu “gak ada yang gantiin ngeumong anak”. Anak saya sekarang berusia 13 bulan, yang artinya, setahun lebih saya tidak menambah ilmu selain dari buku atau situs online. Buat saya, ada yang sangat mendasar yang saya butuhkan agar bisa tetap waras menjadi ibu, yaitu bersosialisasi. Berkenalan dengan orang baru, berteman, berkumpul dengan yang satu visi misi, itu semua efeknya bukan hanya untuk si ibu, tapi juga untuk anak dan keluarganya. Saya pikir, 13 bulan sudah lebih dari cukup untuk sedikit-sedikit mengajari anak diasuh oleh orang lain.

Langsung saja saya mendaftar, baru setelahnya saya bilang ke suami. Saya kenal dia, saya tahu dia pasti mendukung rencana saya. Sayangnya, kami tidak tinggal serumah, Ia kerja di Sulawesi sementara saya tinggal di Jakarta. Pada kondisi ini, tentu saja tidak memungkinkan kami berganti peran walau hanya satu hari. Sedih, masa gak jadi lagi ?!
Tidak buntu, kamipun mencari kontak day care yang menerima harian. Setelah ketemu, lokasinya jauh dari rumah saya, pun dari tempat acara. Biayanya pun tidak murah. Sedih lagi. Yap, salah satu kekurangan saya memang mood swing *terpujilah wahai engkau suamiku yang riang selalu ✌️.

Kalo ada yang nanya, “kenapa gak dititip ke neneknya? Kakeknya? Mereka kan seneng momong cucu..”

Orang tua saya, mertua saya, itu opsi terakhir kalo udah bener-bener mentok. Kebetulan saya ini tipe orang yang gak enakan, apalagi ke orang tua, duh engga deh, kasian.

Jangankan minta tolong orang tua, minta tolong ke teman aja saya gak enak.
Tapi, di situlah saya dibuat terharu.

Mengetahui kondisi ini, teman saya menawarkan diri untuk mengurus anak saya selama saya pergi, yaitu dari pagi sampai sore. Dia gak tega katanya kalo nitip anak ke day care, tempat dan orang yang  asing buat anak, bahkan buat orang tuanya juga. Apa nyaman seperti itu ? Tentu enggak ya.. kecuali memang sudah sering atau setiap hari di situ.

Sampai harinya tiba, saya pun tak henti mengucap syukur atas kebaikan orang-orang disekeliling saya. Saya berangkat jam 7 pagi ketika anak saya belum bangun. Saya sudah siapkan semua keperluannya dalam sehari pada satu tas untuk memudahkan teman saya. Setelah saya berangkat, saya terus berkomunikasi dengan mama di rumah. Beliau memandikan anak saya sebelum dijemput oleh dua teman saya ke appartemennya. Ada pula adik angkat saya, ia membantu menyiapkan stroller dan sebagainya untuk dibawa teman saya.

Nah, enaknya nitip anak ke teman sendiri adalah, saya nyaman sekali berkomunikasi, memantau anak saya dan dengan kepercayaan penuh, saya jadi tidak khawatir selama saya belajar. Sungguh, itu semua sangat berarti untuk saya. Untuk pertama kalinya setelah setahun, saya mendapat kesempatan “keluar” dari zona peribuan. Meski, acara yang didatangi tetap saja berkaitan dengan mengasuh anak. Saya menikmati sekali tiap ilmu yang disampaikan oleh ibu Najela shihab, tiap interaksi dengan teman baru, tiap suapan tanpa rengekan.

Lalu, apa saja yang didapat ?

Saya merenung, mengasah kisah yang saya alami sendiri.

❤️ pertama, ada hal mendasar yang saya rasa harus dipahami semua orang. Bahwa hidup kita sebagai manusia, akan selalu butuh “unplug” moment. Ketika hp eror, kita matikan, lalu hidupkan lagi. Saya gak ngerti teknologi, tapi seringkali itu berhasil, bener gak ? Itu yang saya rasakan hari itu. 365 hari lebih, 24 jam sehari, saya mengurus anak. Kalo pas anak rewel, sakit, atau sedang jenuh, saya suka nangis. Didengar hanya oleh suami saya yang jauh. Rasanya wajar kalau stress. Ngurus anak gak kaya ngurus bisnis, gagal bisa ulang lagi. Kalo saya stress, bentak anak, efeknya sangat panjang..
Oleh karena itu, saya harus tetap waras. Anak gak tahu apa ibunya punya masalah, apa ibunya lapar, apa ibunya lagi sakit, yang dia tahu hanya dia butuh makan, minum, butuh ditemani main, butuh merasa dicintai, butuh lihat senyuman orang di sekitarnya, butuh dicebokin, butuh dimandiin.
Maka keluar sejenak dari rutinitas tersebut, menjadi unplug moment untuk saya. Saya kembali ke anak saya dengan hati bahagia, dan siap rapihin mainannya 3xsehari lagi 😊.
Siapapun orangnya, apapun pekerjaannya, ketika mulai merasa not working well, unplug yourself. Nikmati menyenangkan diri sendiri, maka kita akan bisa menyenangkan orang lain.

❤️ suskes tidak pernah dicapai seorang diri. Siapapun orangnya. Akan ada orang lain yang selalu mendengarkan keluh kesahnya sehingga ia bisa menceritakan keceriaannya kepada dunia. Akan ada orang lain yang mencari kayu, memotong kayu, menyusun kayu, menjadikannya sebuah tangga untuk seseorang memanjat hingga mampu memetik buah yang manis di puncak pohon.
Kesuksesan, selalu terdiri dari sekumpulan dukungan..
Ketika kita mendambakan kesuksesan, jangan pernah lupa memberikan potongan kayu yang kita miliki untuk membuat tangga teman kita, pasangan kita, anak kita, siapapun.

Saya selalalu membayangkan, jika saya mampu menerapkan ilmu parenting yang didapat pada hari itu, lalu anak saya terbantu dengan cara tersebut, maka ada andil dari kedua teman saya di dalamnya. Itulah mungkin yang bisa disebut amal. Dan begitulah agama saya mengajarkan pentingnya tolong menolong, kenal-tidak kenal, seiman-tak seiman, hal kecil yang kita lakukan untuk orang lain, mungkin baginya adalah sepotong kayu yang berharga.

Rabu, 11 Oktober 2017

Bijak Kala Berobat

Beberapa hari yang lalu, secara tiba-tiba telinga kananku terasa sakit. Berdengung seperti abis berenang. Kalau sujud terasa sakit ke kepala. Karena rasa sakitnya mengganggu sekali, dan ini berkaitan dengan indra, aku putuskan untuk ke dokter. Tentu saja ke THT karena aku pikir peralatan di dokter THT akan lebih lengkap dan sesuai. Maka pergilah aku ke salah satu rumah sakit swasta di daerah kelapa gading, jakarta utara. Setelah diperiksa, Dokter mengatakan bahwa telinga kanan dan kiriku merah, infeksi telinga tengah istilahnya – setelah itu aku langsung dipersilahkan untuk keluar.

Dalam keadaan masih clueless aku tetap harus melanjutkan tahapan berobat ini, memasuki bagian yang gak kalah menegangkannya dari tahapan pemeriksaan yaitu menuju kasir 😝. Aku mendapat dua tagihan, lembar pertama adalah untuk biaya dokter dan jasa rumah sakit, sementara lembar kedua adalah untuk obat. Masing-masing lembar menunjukkan angka empat ratus sekian ribu dan delapan ratus sekian ribu. Iyah, obat telinga yang ngiung-ngiung ini hampir satu juta. Aku kaget, tapi pura-pura santai. Kaget, tapi tetap bayar, pasrah ✌🏻.

Kemudian aku menaruh harapan pada apoteker. Berharap mendapatkan alasan untuk iklas membayar. Aku tanya,”mba ini obatnya yang mahal apanya ya ?”. Aku pikir, sakitku ini sangat spesifik sehingga membutuhkan obat khusus. Baiklah, aku keliru. Ternyata yang mahal adalah antibiotiknya yang mencapai enam ratus ribu lebih. Sementara dua obat lainnya yaitu obat tetes telinga dan kapsul berisi obat racik cukup dua ratus ribu rupiah saja. Lalu aku bertanya lagi, “kenapa antibiotik ini mahal mba?”. Lagi-lagi jawabannya sangat tidak memuaskan, “karena bagus,bu”.

Saat itu, di otakku penuh pertanyaan seputar antibiotik. Apakah tidak ada antibiotik yang lebih murah ? Apakah penyakitku begitu parah sampai membutuhkan antibiotik yang spesial ? Apakah antibiotik ini aman untuk ibu menyusui ? Apakah aku tidak berhak menolak obat yang sudah dokter resepkan ? Sayangnya, saat itu aku diburu waktu karena harus jemput ibuku. Maka aku coba berkonsultasi via whatsapp kepada seorang dokter yang aku kenal sangat bijak.

Hasilnya ? Menurut beliau, aku gak perlu konsumsi antibiotik tersebut karena dosisnya terlalu tinggi (aku gak ada indikasi demam dsb). Wah aneh sekali, obat yang katanya “bagus” ini nyatanya tidak sepenting itu.

Terlepas dari seberapa hebatnya sebuah obat, seberapa seniornya seorang dokter, seberapa tingginya reputasi sebuah rumah sakit, aku yakin ada yang harus aku perbaiki dari caraku berobat. Ini penting agar berobat mencapai tujuannya yaitu kita tahu persis apa yang terjadi dengan tubuh kita, dan treatment apa yang sesuai untuk menyembuhkannya. Selain itu juga tentunya agar kita tidak “terjebak” dengan nominal yang harus dibayarkan.

Theory…

Menurut, dr.Saleh Zubeidi, hal berikut ini penting untuk dipahami saat kita berobat ke dokter.

1. Ke dokter sesuai dengan keluhan.
Kalau indikasinya sudah jelas, seperti aku yang sakit telinga, ya bisa langsung ke dokter spesialis. Tapi kalo komplikasi seperti ada demam, perut melilit, batuk, ada baiknya berkonsultasi ke dokter umum dulu. Menurut aku, jangan kita remehkan dokter umum. Dokter umum melihat kasus dari general ke spesifik. Aku beberapa kali berobat ke dokter umum justru puas dengan penjelasan mereka. Mungkin karena dokter umum melihat berbagai kemungkinan, jadi kita juga diajak untuk memahami lebih dalam mengenai apa yang kita rasa, apa yang kita keluhkan.

2. Sampaikan keluhan sedetil mungkin.
Mulai dari jenis hingga waktunya, jelaskan semua yang kita rasa. Ini hak pasien yang tentunya akan membantu dokter untuk mendiagnosa. Tambahan dari aku, penting juga untuk menyampaikan kondisi lain yang terkait. Misalnya sedang menyusui atau tidak, sedang hamil berapa bulan, sedang menggunakan alat kontrasepsi atau tidak.

3. Sampaikan riwayat penyakit.
Terutama jika kita ke dokter yang untuk pertama kalinya. Dokter harus tahu riwayat penyakit kita sebelumnya, atau jika kita punya alergi makanan atau alergi obat tertentu.

4. Tanyakan apa yang dokter temukan dalam pemeriksaannya.
Nah ini kurangnya aku juga ya, kurang gragas nanyain ke dokternya hehe. Gapapa kali ya bawel, kan ini kelebihannya berobat langsung. Kalo Cuma manut-manut aja mah googling juga bisa .

5. Tanyakan tentang terapi yang diberikan.
Sebagai pasien apalagi kita yang awam, tidak tahu menahu tentang jenis dan efek obat, wajib hukumnya menanyakan hal ini. Kita harus tahu untuk apa obat tersebut,sehingga pasien bisa memberi pertimbangan juga baik dari sisi harga maupun dari sisi manfaat.

Point di atas insyaAllah dapat membantu kita untuk berobat efektif dan sesuai kebutuhan maupun kemampuan kita. Sepele, tapi bisa menghindarkan kita supaya tidak menjadi budak obat. Selanjutnya aku mau coba merangkum cara bijak mengkonsumsi obat dari salah satu buku best seller tulisan dokter jepang, Yutaka Okamoto. insyaaAllah.

Jumat, 22 September 2017

Penculikan dan Kebohongan Anak

Story

Sejak Kamis, 14 September 2017, media sosial ramai dengan beredarnya video pengakuan seorang anak SD yang mengaku hampir diculik. Gadis cilik kelas IV SD yang berinisial PT ini bercerita kejadian mengerikan yang baru saja dialaminya itu dengan raut wajah yang tenang bahkan beberapa kali tersenyum. Memang mengagumkan ya ketika pertama kali mendengarnya, anak perempuan kecil bisa melepas bekapan tangan pria dewasa dengan sekali gigit. Jadi wajar saja para ibu yang merasa antara kagum sekaligus cemas dengan berita tersebut langsung membagikan, menyebar luaskan video PT ini.

Dua hari berselang, Wakasat Reskrim jakbar, Kompol Ivers Manossoh menyatakan bahwa kejadian tersebut tidaklah benar, alias palsu. Hmm tetap mengagumkan yah, tapi tentunya kagum yang dicampur miris.. Kok bisa ya anak kelas IV SD berbohong ? Saya jadi penasaran dan berselancar di samudra google untuk mencari tahu penyebab anak berbohong, cara mencegah dan menghadapi kebohongan anak.

Theory

Coba ya kita sendiri sebagai orang dewasa, pernah bohong ga ? Kira-kira kenapa kita bohong ? Mungkin kurang lebih sama, hal itu pula yang melatarbelakangi anak berbohong.
1. Anak tahu konsekuensinya
2. Anak tidak ingin mengecewakan
3. Mereka tidak berbohong, mereka hanya berfantasi
4. Mereka tidak ingat yang sebenarnya
5. Mereka pikir, bohong lebih sopan karena kebenarannya terlalu kasar
6. Mereka mencontoh orang tua

Jadi menurutku, berdasarkan pengalaman, dan tentunya dari hasil mengoreksi diri sendiri (yup, diingat-ingat pernah juga aku melakukan ini), ada kebiasaan yang keliru dari kita orang tua. Misalnya;
- mengekspresikan emosi dengan meledak-ledak ketika kesal dengan perbuatan anak. Aku yakin, bayi sekalipun bisa merasakan ekspresi wajah dan intonasi bicara yang nyaman itu seperti apa. Dan aku juga yakin bahwa TIDAK ADA ANAK YANG TERLAHIR SENANG MEMBUAT ORANG TUANYA KECEWA. Tidak ada. Maka ketika kita dikit-dikit marah, ya udah kebayang ya selanjutnya gimana..
- mengeluh (entah secara langsung di depan anak ataupun bercerita kepada orang lain) tentang betapa beratnya, betapa capeknya, dan betapa stress nya mengurus anak. Betul seorang ibu juga manusia, dan mengeluh bisa saja wajar. Tapi setelah saya pikir lagi, kebiasaan ini sangat tidak baik. Anak-anak tidak pernah minta untuk dilahirkan ke dunia dan "membuat" kita kerepotan. Bisa terbayang bagaimana rasanya datang di tempat baru lalu disalahkan. Lalu apa jadinya kalau anak merasa tak berharga ? Tentu akan mencari perhatian dengan cara apapun, bahkan cara yang mungkin dia sendiri tidak suka, kan intinya hanya ingin perhatian kita, hanya ingin kasih sayang kita, hanya ingin me,buat kita bangga akan dirinya..
- mudah membuat janji tapi tidak ditepati. "Iya besok ya kita beli", "ok nanti kalo makannya habis, mama beliin mainan baru", "ayo jangan nakalnya, nanti mama ajak ke dufan kalo adek anteng"
Ketika gak ditepati, mereka akan menganggap hal tersebut biasa.. Jangan heran kalau kedepannya jadi susah "didengar" anak.
- memuji hasil, bukan proses. Klise, namun F.A.T.A.L.





Jumat, 14 Juli 2017

Etika Menjenguk/bertemu bayi (gemes yang membahayakan)

Today's Story :
hari ini, hari Jumat tanggal 14 Juli 2017 adalah hari pertama kalinya Thea (anak pertama, 8 bulan) cek laboratorium.

Semua berawal dari satu minggu lalu Althea tiba-tiba demam hingga nyaris 39C. Nangis kejer tengah malem. Alhamdulillah saat itu mamak lagi bobo bareng Nini. Nini memarut bawang merah lalu dicampur asam jawa, dibalurkan keselruh tubuh Thea. Entah kebetulan atau tidak, selang beberapa menit kemudian, Thea bisa tidur dengan pulas dan demamnya turun. Nah  setelah malam itu, panas tubuhnya naik turun terus. Makan tidak nafsu. Main kurang semangat.

Akhirnya saya bawa ke dokter dan diminta untuk cek darah. rasanya jauh lebih takut dan deg-degan ketimbang diri sendiri yang mau diambil darah. Apalagi saat itu saya sendirian. Thea diambil darah di jari tengah tangan kirinya saat lagi tidur (plus ngempeng nenen). Gak kebangun sama sekali, cuma sempet kaget narik jarinya aja. Fiuuuuh lega banget!

Hasilnya, ternyata HB nya rendah dan terdeteksi adanya VIRUS..

Dokter ga bilang virus apa, dan saya ga nanya juga. Astagfirullaaah... begitulah mamak kalo pergi sendirian dan kamu nangis kejer di ruang periksa, nak, mamak ga fokus:(

Virus ini, kemungkinan menyebar ke Thea dari kontak atau udara.

Theory behind the story :
Bayi itu rentan. Sangat rentan. Lalu tugas nya siapa ya untuk menjaga kesehatan mereka ? ya kita, orang dewasa..

Saya jadi berpikir sesuatu, bahwa selama ini seringkali ketemu orang (kenal maupun tidak) yang gemes sama Thea lalu dengan sepenuh hati cium-ciumin Thea. hmm..

Sebagai seorang ibu, saya mengharapkan orang lain bisa paham bahwa :
1. Sedang sakit ataupun tidak, tubuh dan baju kita (sangat) bisa saja menempel kuman, polusi, dan virus.
2. Penularan virus tidak hanya melalui kontak secara langsung, ingat, apa-apa yang terhirup pun akan berdampak. Sudah puas dengan tidak merokok di dekat bayi ? bagaimana dengan asap yang menempel di baju anda ? Yes, itupun membahayakan..
3. Seramah apapun seseorang, setenang apapun dia, hati kecilnya akan selalu ada kekhawatiran untuk keselamatan anaknya..

Lalu, bagaimana sebaiknya sikap kita ketika berjumpa dengan bayi ?
1. Tanya diri sendiri sebelum gendong bayi, apakah saya sehat? apakah saya mengenakan pakaian yang cukup bersih dan aman untuk bisa gendong bayi ?
2. Gemes sama pipi tembemnya ? Orang tua akan berterimakasih kalau anaknya dihargai dengan tidak asal dicium-cium lho..Jadi, tahan aja ya ga perlu cium-cium apalagi deket area bibir dan hidugnya.
3. Persiapkan diri dengan bersih. Gunakan masker terutama bagi yang sedang flu. Cuci tangan sebemum menyentuh bayi dan atau ketika akan BERSALAMAN DENGAN IBU NYA. Lebay yah ? enggak kok, karena tangan ibunya lah yang akan sering bersentuhan dengan sang bayi.
4. Jaga bicara. Wah ini gak ada hubungannya sama penularan virus yah, tapi gak kalah penting. Hati orang tua, mungkin khususnya ibu, itu sangat sensitive jika seputar anak. Akan sangat bijak jika kita bisa menghindari mengomentari fisik sang bayi.. Daripada ngobrolin "kok item sih anaknya? ibu bapaknya kan putiih", mendingan pijitin ibunya !

Ini etika jenguk/bertemu bayi versi saya, ada yang mau nambahin ?